Hari ini ada seorang wali santri datang ke ma'had, kedatangan mereka dipicu oleh keadaan anaknya yang menjadi korban pemukulan. Mata kiri bengkak, hingga keluar sedikit darah dari mulutnya. Permasalahannya hanya sepele saja, si korban menagih hutang kepada pelaku, tetapi ditolak oleh pelaku. Sehingga korban mengejek orang tua pelaku, pelaku lantas marah hingga memukul korban.
Pada kejadian ini ada beberapa hal yang mengingatkan kita pada tuntunan Rasulullah tercinta –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama-, beliau mewanti-wanti ummatnya agar jangan sampai melaknat kedua orang tuanya sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi? Simak sabda beliau –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama-: "Allah melaknat orang yang melaknati kedua orang tuanya, shahabat pun bertanya: kok bisa terjadi seperti itu ya Rasulallah? Beliau menimpali: "Seseorang melaknat orang tua saudaranya, maka saudaranya tersebut melaknat kedua orang tuanya."
Pada kasus diatas ada hal besar yang sering luput dari pengamatan kita. Manajemen emosi, menjaga marah. Hal ini buka berarti kita dilarang marah. Perhatikan sabda Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama- ketika dimintai nasihat oleh salah seorang sahabatnya, beliau menjawab : "Jangan marah" hingga orang itu bertanya berkali-kali, tetap saja Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama- menasihatinya agar jangan marah. Di sisi lain ada banyak riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama- marah. Marah ketika terjadi kemungkaran, marah ketika Aisyah –radhiyallahu 'anha- menyinggung seseorang wanita, marah ketika wajah beliau terluka pada erang Uhud.
Lantas, marah yang bagaiman yang dilarang oleh beliau –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama-?
Apabila seseorang marah hingga melakukan tindakan yang tercela, inilah yang dilarang.
Kita sadari bersama bahwa tindakan seseorang ketika sedang marah tidak terkontrol, cenderung destruktif.
Oleh karena itu, Rasulullah –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama- menganjurkan kepada orang yang marah agar berta'awudz, meminta perlindungan dari syaitan. Di lain waktu, beliau –shallallahu 'alaihi wa aalihi wassallama- memerintahkan si pemarah agar duduk apabila dia marah sedang berdiri. Berbaring apabila marah sambil duduk.
Hal ini menunjukkan bahwa yang dilarang dari sang pemarah adalah tindakan ketika dia marah, bukan marah itu sendiri. Karena marah itu manusiawi, setiap orang berpotensi marah. Bahkan Allah Yang Maha Sempurna memiliki sifat marah, hal ini menunjukkan bahwa tidak semua kemarahan adalah sesuatu yang tercela. Karena Allah hanya memiliki sifat yang terpuji lagi sempurna.
Jadi, jaga marahmu! Boleh marah asal jangan dilanjutkan dengan tindakan yang destruktif.
Wallahu a'lam